Sabtu, 08 Oktober 2011

MAKALAH KEPERAWATAN

(MALPRAKTEK KEPERAWATAN)

DISUSUN
OLEH :
NAMA : WAWANNHOE
NIM     : 08784161488x


BULUKUMBA
2011/2012

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana yang berjudul “malpraktik dalam keperawatan”. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam pendidikan dalam profesi keperawatan.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


                                                Penulis





DAFTAR ISI
Sampul..................................................................................................................................... i
Kata Pengantar....................................................................................................................... ii
Daftar isi.................................................................................................................................. iii
Bab I Pendahuluan.................................................................................................................. 1
1.      Latar Belakang........................................................................................................... 1
2.      Rumusan Masalah...................................................................................................... 3
3.      Tujuan.......................................................................................................................... 3
Bab II Pembahasan................................................................................................................. 4
1.      Pengertian Malpraktek.............................................................................................. 4
2.      Malpraktek Administratif........................................................................................... 5
3.      Teori-Teori Malpraktek............................................................................................. 5
4.      Teori Kelalaian............................................................................................................ 6
5.      Kesalahan Malpraktek Dari Sudut Pandang Etika.................................................. 10
6.      BEBERAPA CONTOH KESALAHAN PERAWAT................................................ 17
7.      MALPRAKTEK DAN TANGGUNG JAWABNYA................................................ 17
8.      Permasalahan Keperawatan Di Indonesia................................................................. 20
Bab III Penutup....................................................................................................................... 22
A.     Kesimpulan.................................................................................................................. 22
B.     Saran............................................................................................................................ 22
Daftar pustaka           


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Persoalan menyangkut malpraktik sudah dikenal semenjak awal mula perkembangan teknologi kedokteran/medis modern. Saat ini banyak kasus malpraktek yang muncul kepermukaan dan dituntut secara formal oleh pasien/keluarga keaparat yang berwajib seperti polisi untuk tingkat pengaduan dan ketingkat pengadilan. Tidak salah dapat dikatakan bahwa ini merupakan suatu yang ditakutkan oleh kalangan atau komunitas kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kasus malpraktek medis bukan merupakan fenomena baru sejak lama kasus malpraktek cukup akrab di Indonesia.
Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan dan hak setiap orang, sehingga masyarakat mulai menuntut haknya untuk mendapatkan pelayanan yang optimal. Hal ini berdampak pada berbagai prakarsa dalam sistem pelayanan kesehatan dengan senantiasa berusaha meningkatkan mutu diri, profesi, peralatan, kemampuan manajerial dan khususnya manajemen mutu pelayanan kesehatan. Prakarsa dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan secara sistem dilakukan, sehingga diharapkan seluruh lingkup pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan di rumah sakit memiliki karakter mutu pelayanan prima yang sesuai dengan harapan pasien (Wiyono, 2000). 
 penentu bagi mutu pelayanan dan citra sebuah rumah sakit. Keperawatan memiliki kontribusi besar terhadap pelayanan prima yang diharapkan pasien di rumah sakit, terbukti bahwa sumber daya manusia 50-60% dari seluruh tenaga kesehatan adalah perawat dan  berkontribusi 60% dari pelayanan di rumah sakit (Huber, 1996). Pelayanan keperawatan merupakan indikator mutu rumah sakit menjadi suatu konsekuensi terhadap profesionalisme dalam bidang keperawatan yaitu keperawatan sebagai profesi harus mampu memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas dan  mengaktualisasikannya dalam pelayanan keperawatan, sehingga pemenuhan dimensi kualitas pelayanan keperawatan tercapai. Dimensi empati yang mengandung pengertian bahwa kemampuan akses, kemampuan memahami pelanggan dan kemampuan komunikasi diintegrasikan dalam asuhan keperawatan. Kemampuan komunikasi menjadi suatu hal yang mutlak bagi profesi keperawatan karena kegagalan komunikasi menyebabkan 80% kasus malpraktek, meningkatnya biaya penyelenggaraan pelayanan dan menimbulkan kebingungan antar petugas menyangkut rencana pelayanan (Muhajir, 2007).  Perencanaan pelayanan dapat dilihat  dalam manajemen proses keperawatan yang merupakan rangkaian pola pikir tenaga kesehatan yang direfleksikan ke dalam berbagai kegiatan selama memberikan asuhan keperawatan pada pasien mulai pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.  Proses keperawatan inilah yang merupakan bentuk nyata perawat bertanggung jawab dan tanggung gugat agar setiap asuhan keperawatan sesuai dengan yang direncanakan. Proses keperawatan yang dilakukan harus
Dalam menjalankan profesinya sebagai tenaga perawat professional senantiasa memperhatikan etika keperawatan yang mencakup tanggung jawab perawat terhadap klien ( individu, keluarga, dan masyarakat ).selain itu , dalam memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas tentunya mengacu pada standar praktek keperawatan yang merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi masyarakat terhadap praktek yang dilakukan oleh anggota profesi dalam hal ini perawat.


2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini berdasarkan latar belakang diatas yaitu bagaimana tentang malpraktek terjadi dalam keperawatan dan teori-teori malpraktek serta contoh-contoh kesalahan perawat.
3. Tujuan 
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang harus diperhatikan dalam perawatan pasien dan cara mengatasi malpraktek dalam keperawatan serta mengetahui permasalahan yang biasa dihadapi oleh perawat di Indonesia


















BAB II
PEMBAHASAN
1.        Pengertian Malpraktek
Beberapa sarjana sepakat untuk merumuskan penggunaan istilah medical malpractice (malpaktek medik) sebagaimana disebutkan dibawah ini :
a.         John D. Blum memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai “a form of professional negligence in which measerable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or ommission by the defendant practitioner” (malpraktek medik merupakan bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan sebagai akibat langsung  dari tindakan dokter).
b.         Black Law Dictionary merumuskan malpraktek sebagai “any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry duties, evil practice, or illegal or immoral conduct…” (perbuatan jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang dibawah standar, atau tidak cermatnya seorag ahli dalam menjalankan kewajibannya secara hokum, praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral).
Dari beberapa pengertian tentang malpraktek medik diatas semua sarjana sepakat untuk mengartikan malpraktek medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan yang karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau bahkan meninggal dunia.
Dari berbagai pengertian mengenai malpraktek yang dikemukakan oleh beberapa sarjana diatas, terlihat bahwa sebagian orang mengaitkan malpraktek medik sebagai malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Hal ini mungkin disebabkan karena kasus-kasus yang muncul ke permukaan atau yang diajukan ke pengadilan adalah kasus-kasus yang dilakukan oleh dokter.
2.       MALPRAKTEK ADMINISTRATIF
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi  atau izinnya, Universitas Sumatera Utaramenjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
3.         TEORI-TEORI MALPRAKTEK
Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek yaitu:
a.       Teori Pelanggaran Kontrak
Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut.
Sehubungan dengan adanya hubungan kontrak pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama. Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya.Apabila terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang bertindak atas nama dan mewakili kepentingan penderita. Apabila hal ini juga tidak mungkin, misalnya dikarenakanpenderita gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain yang kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut perundang-undangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan  memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum telah dianggap sebagai perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.
b   Teori Perbuatan Yang Disengaja
Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga  kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera (asssult and battery)
4.     TEORI KELALAIAN
Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum.
Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktek, yang apabila ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak pasien dan para aparat penegak hukum, karena denganteori-teori tersebut pasien dapat mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat hukum dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan. Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek. Teori-teori itu adalah:
a.       Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori ini mempunyai arti yang sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama tindakan tenaga kesehatan itu bertujuan untuk indikasi medis.
b.      Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c.       Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan malpraktek adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan penderita, yang berjanji tidak akan  menuntut tenaga kesehatan atau rumah sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek.Teori pembelaan ini bersifat spekulasi karena berhasil tidaknya tenaga kesehatan menggunakan pembelaannya, yang dalam hal ini berupa perjanjian khusus dengan pasien, hasinya sangat tergantung pada penilaian pengadilan.
d.      Peraturan Good Samaritan
Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat dengan tujuan murni  (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e.       Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari seluruh tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan penyelesaian bersama. Teori pembelaan yang berupa pembebasan ini, hanya dapat dilaksanakan sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut menyangkut tanggungjawab perdata (masuk kategori hukum perdata), misalnya wanprestasi, sebab dalam kasus ini hanya melibatkan kedua belah pihak yang saling mengadakan kontrak atau janji saja. Dalam hal ini apabila mereka ternyata dapat bersepakat untuk menyelesaikan bersama dengan damai, itu lebih baik, karena sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penyelesaian kasus perdata, yaitu adanya suatu perdamaian antara kedua belah pihak.Tetapi apabila kesalahan tenaga kesehatan itu termasuk dalam kategori hukum pidana (tanggung jawab pidana) misalnya terjadi kelalaian berat sehingga mengakibatkan meninggalnya pasien, maka teori ini tidak dapat diterapkan, sebab bicara hukum pidana berarti bicara tentang hukum publik, yang menyangkut kepentingan umum bersama. Oleh karena itu apabila telah terbukti tenaga kesehatan telah melakukan malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan padanya, karena kalau tidak, berarti kita tidak mendidik kepada masyarakat pada umumnya untuk sadar terhadap hukum yang berlaku, sehingga selanjutnya akan sangat sulit untuk menegakkan hukum itu sendiri. Disamping itu, kalau teori ini diterima dalam kasus pidana dikhawatirkan tiap perbuatan malpraktek seorang tenaga kesehatan tidak akan ada sanksi hukumnya, sehingga dapat mengurangi tanggung jawab dan sikap hati-hatinya seorang tenaga kesehatan di dalam menjalankan tugasnya.
f.        Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan hukum yang lain.
g.       Workmen’s Compensation
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi darikasus malpraktek yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan menurut peraturan workmen’s compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka. Akan tetapi  walaupun dengan adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak berarti seorang tenaga kesehatan boleh bertindak semaunya kepada pasien. Walaupun terdapat teori-teori pembelaan tersebut, juga harus dilihat apakah tindakan tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi. Apabila tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai dengan standar profesi, maka teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembelaan baginya. Misalnya pada peraturan good Samaritan yang menyebutkan bahwa seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat dapat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek. Walaupun terdapat peraturan good samaritan ini, seorang tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat tetap harus memberikan pertolongannya dengan sepenuh hati berdasarkan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya. Apabila dalam memberikan pertolongan gawat darurat, seorang tenaga kesehatan hanya memberikan pertolongan yang sekedarnya dan tidak sungguh-sungguh dalam menggunakan pengetahuan dan keahliannya, jika terjadi sesuatu hal yang membahayakan kesehatan atau nyawa orang yangditolongnya itu, maka tenaga kesehatan tersebut tetap dapat dituntut secara hukum.
5.       KESALAHAN MALPRAKTEK DARI SUDUT PANDANG ETIKA
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpracticedan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpracticeatau yuridical malpracticedengan sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpracticeakan tetapi semua bentuk yuridical malpracticepasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a.       Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b.      Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a.       Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b.      Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c.       Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d.      Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi.Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan.Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Dalam hal tenaga perawatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga perawatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercelab. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1.      Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan
1)      Adanya indikasi medis
2)      Bertindak secara hati-hati dan teliti
3)      Bekerja sesuai standar profesi
4)      Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2.      Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.       Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
b.      Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan
c.       Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Misalnya ada kasus saat tenaga perawatan akan mengganti/ memperbaiki kedudukan jarum infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut .
Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan tenaga perawatan, karena:
a.       Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
b.      Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab perawat.
c.       Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan perawat atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian tenaga perawatan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga keperawatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
6.       BEBERAPA CONTOH KESALAHAN PERAWAT
a.       Pasien usia lanjut mengalami disorientasi pada saat berada di ruang perawatan. Perawat tidak membuat rencana keperawatan guna memantau dan mempertahankan keamanan pasien dengan memasang penghalang tempat tidur. Sebagai akibat disorientasi, pasien kemudian terjatuh dari tempat tidur pada waktu malam hari dan pasien mengalami patah tulang tungkai
b.      Pada pasien pascabedah disarankan untuk melakukan ambulasi. Perawat secara drastis menganjurkan pasien melakukan mobilisasi berjalan, padahal di saat itu pasien. mengalami demam, denyut nadi cepat, dan mengeluli nyeri abdomen. Perawat melakukan ambulasi pada pasien sesuai dengan rencana keperawafan yang telah dibuat tanpa mengkaji terlebih dahulu kondisi pasien. Pasien kemudian bangun dan berjalan, pasien mengeluh pusing dan jatuh sehingga mengalami trauma kepala.
7.         MALPRAKTEK DAN TANGGUNG JAWABNYA
Dalam beberapa tahun belakangan ini yang dirasakan mencemaskan oleh dunia perumahsakitan di Indonesia adalah meningkatnya tuntutan dan gugatan malpraktik (dengan jumlah ganti rugi yang semakin hari semakin spektakuler), utamanya sejak diberlakukannya UU no.8/1999 tentang perlindungan konsumen. Sebelumnya, RS dianggap sebagai lembaga sosial kebal hukum berdasarkan doctrine of charitable immunity, sebab pertimbangannya, menghukum RS membayar gantirugi sama artinya dengan mengurangi assetnya, yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuannya untuk menolong masyarakat banyak.
Perubahan paradigma tersebut terjadi sejak kasus Darling vs Charleston Community Memorial Hospital (1965), yakni kasus mula pertama yang mempersamakan institusi RS sebagai person (subjek hukum) sehingga oleh karenanya dapat dijadikan target gugatan atas kinerjanya yang merugikan pasien. Pertimbangannya antara lain karena banyak RS mulai melupakan fungsi sosialnya serta dikelola sebagaimana layaknya sebuah industri dengan manajemen modern, lengkap dengan manajemen risiko. Dan dengan manajemen risiko tersebut maka sudah seharusnya apabila RS mulai menempatkan gugatan ganti rugi sebagai salah satu bentuk risiko bisnisnya serta memperhitungkannya untuk dipikul sendiri risiko itu ataukah akan dialihkan kepada perusahaan asuransimelalui program asuransi malpraktik.
Situasi krisis yang mencemaskan tersebut jelas tidak menguntungkan bagi pengelolaan dan pengembangan RS dan oleh karenanya perlu diwaspadai. Tetapi yang paling penting bagi setiap pengelola dan pemilik RS adalah memahami lebih dahulu bahwa sebelum gugatan malpraktik dapat dibuktikan maka setiap sengketa yang muncul antara health care receiver dan health care provider baru boleh disebut sebagai konflik akibat adanya ketidaksesuaian logika atas sesuatu masalah; utamanya atas terjadinya adverse event (injury caused by medical management rather than the underlying condition of the patient). Konflik diartikan sebagai ketidaksesuaian paham atas situasi tentang pokok-pokok pikiran tertentu atau karena adanya antagonisme-antagonisme emosional. Maka berbagai konflik yang melanda dunia perumahsakitan kita sekarang ini tidak harus dipandang sebagai hal yang luar biasa sehingga tidak perlu disikapi secara tidak proporsional. Dilihat dari sisi positifnya justru konflik atau sengketa dapat meningkatkan kreatifitas, inovasi, intensitas upaya, kohesi kelompok serta mengurangi ketegangan. Dunia perumahsakitan juga harus merasa risih dan bersikap jujur karena pada kenyataannya masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam melaksanakan tatakelola klinik yang baik (good clinical governance), disamping belum secara sempurna mampu memenuhi prinsip-prinsip dalam merancang sistem pelayanan kesehatan yang lebih aman (safer health care system) guna mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi terjadinya adverse events.
Konflik itu sendiri sebetulnya hanya akan terjadi kalau ada prakondisi atau predisposing factor, misalnya berupa adverse events (yang pada hakekatnya merupakan kesenjangan antara harapan pasien ketika memilih RS dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya upaya medis). Sedangkan trigger factors-nya antara lain karena adanya perbedaan persepsi, komunikasi ambigius atau gaya individual yang bisa datang dari pihak dokter sendiri (arogan, ketus, enggan memberikan informasi dan sebagainya) atau dari pihak pasien (misalnya chronic complainer atau sikap temperamental). Tarif yang tinggi juga dapat menjadi pemicu munculnya klaim atas pelayanan yang kurang sempurna. Dari pengalaman saya sebagai kosultan di salah satu RS swasta diperoleh temuan bahwa tidak jarang pemicunya justru datang dari penilaian spekulatif yang bersifat negatip atas terjadinya adverse events dari teman sejawat dokter (yang barangkali saja ingin mengambil keuntungan, misalnya agar oleh pasien dianggap lebih hebat atau lebih pandai).
8.          BEBERAPA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI OLEH PROFESI KEPERAWATAN DI INDONESIA
Wawasan ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu yang mempelajari bentuk dan sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia melalui pengkajian mendasar tentang hal-hal yang melatarbelakanginya, serta mempelajari berbagai bentuk upaya untuk mencapai kebutuhan dasar tersebut melalui pemanfaatan semua sumber yang ada dan potensial. Bidang garapan dan fenomena yang menjadi objek studi ilmu keperawatan adalah penyimpangan atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosio-spiritual). Oleh karena objeknya adalah manusia dalam segala tingkatannya, dan manusia adalah makhluk hidup yang sampai saat ini, belum semua aspeknya terungkap melalui ilmu pengetahuan, berarti pula perawat senantiasa dihadapkan pada kondisi pekerjaan yang penuh dengan risiko. Oleh karenanya, perawat dituntut pada tingkat kemampuan profesional agar ia mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan.
Hal ini bermakna bahwa pelayanan keperawatan yang profesional hanya dapat. dimungkinkan bila tenaga keperawatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan keperawatan. Tenaga keperawatan yang profesional ditandai dengan pengetahuan yang mendalam dan sistematis, keterampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan lama dan teliti, serta pelayanan/asuhan pada yang memerlukan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini, yaitu etika profesi. Di Indonesia, kategori pendidikan yang menghasilkan tenaga keperawatan profesional diperoleh dan jenjang pendidikan tinggi yang ada saat ini yaitu Akademi Keperawatan (jenjang Diploma III) dan program pendidikan sarjana keperawatan/Ners.
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 telah memberikan pengakuan secara jelas terhadap tenaga keperawatan sebagai tenaga profesional sebagaimana pada Pasal 32 ayat (4), Pasal 53 ayat (I j dan ayat (2)). Selanjutnya, pada ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Banyak kasus yang terlanjur diajukan ke pengadilan sebelum ditangani oleh  organisasi profesi, misalnya Majelis Kode Etik Keperawatan, yang terkadang bukan merupakan. pelanggaran hukum (perdata/pidana), tetapi hanya merupakan pelanggaran etik profesi semata, sebagaimana yang telah diatur dalam AD/ART PPNI (Majelis Kode Etik Keperawatan tingkat Pusat baru dibentuk pada tanggal 26 Januari 2002) Sebagai suatu profesi, PPNI memiliki kode etik keperawatan yang ditinjau setiap 5 tahun dalam MUNAS PPNI. Berdasarkan keputusan MUNAS VI PPNI No. 09/MUNAS VI/PPNI/2000 tentang Kode Etik Keperawatan Indonesia.
Sanksi administratif atau tindakan disiplin kepada tenaga kesehatan, terrnasuk tenaga keperawatan, karena dianggap melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi dan memberikan pelayanan kesehatan diberikan oleh pejabat yang berwewenang (organisasi di tempat tenaga keperawatan tersebut bekerja) atas dasar pertimbangan yang diajukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK). Majelis ini dibentuk dengan Kepres No. 56 Tahun 1995, yang terdiri dari MDTK tingkat pusat dan MDTK tingkat provinsi.
PPNI, terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum berperan sebagaimana layaknya organisasi profesi. Keberadaan PPNI di daerah tidak dirasakan sebagai suatu kebutuhan dalam mempertahankan kemampuan profesional anggotanya. Hal ini terkadang dipertanyakan oleh para anggotanya.

BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi  atau izinnya, Universitas Sumatera Utaramenjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
2.       Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut.
B.  SARAN
Saran bagi penaggulangan Malpraktik medik:
Adanya Komite Medik / Malpractice Review Committee yang independen (tidak dibawah Direktur) pada setiap RS yang bertugas membahas keadaan RS secara periodik tentang kesalahan tenaga kesehatan personil RS tersebut. Di masa mendatang, audit medik hendaknya diatur dengan peraturan perundang-undangan dan dapat dilakukan pula terhadap praktik dokter pribadi.

DAFTAR PUSTAKA

Indrawijaya, Adam I. 1999. Organisasi Perilaku. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Ismani dkk. 2002. Etika Profesi Keperawatan. Depok : Mahkota Raya.
Poedjawiyatna. 2003. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta : Rineka Cipta.
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperwatan. Jakarta : EGC.
Samil dkk.1994. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI.
Soeparto dkk. Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan. Surabaya: Komite Etik Rumah Sakit, RSUD Dr. Soetomo
Achadiat, Chrisdiono M.2006. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman. Jakarta: EGC.
Guwandi, 2005, Rahasia Medis, Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Guwandi, 2007, Hukum Medic (Medical Law)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar