Sabtu, 08 Oktober 2011

MAKALAH KEPERAWATAN PART IV


(MALPRAKTEK KEPERAWATAN)

DISUSUN
OLEH :
NAMA : gustiawal
NIM     : 3857305

dampang
BULUKUMBA
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Malpraktek Keperawatan ”
Makalah ini berisikan tentang informasi Malpraktek Keperawatan atau yang lebih khususnya membahas Membahas pengertian malpraktek, faktor-faktor yang mempengaruhi malpraktik dan cara mengatasinya.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang Malpraktik keperawatan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin……


                                           Penulis


DAFTAR ISI
Daftar Judul............................................................................................................................. i
Kata Pengantar....................................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................................. iii
Bab I Pendahuluan.................................................................................................................. 1
1.      Latar Belakang........................................................................................................... 1
2.      Perumusan Masalah................................................................................................... 3
3.      Tujuan Penulisan......................................................................................................... 3
Bab II Pembahasan................................................................................................................. 4
A.     Pengertian Malpraktek.............................................................................................. 4
B.     Upaya Pencegahan Dalam Menghadapi Tuntutan Malpraktek............................... 6       
C.      Gugatan Malpraktek................................................................................................. 10
D.    Tuntutan Malpraktek Medis...................................................................................... 12
E.     Penanganan Tindakan Malpraktek........................................................................... 13
F.      Tuntutan Malpraktek................................................................................................. 16
G.    Jenis Malpraktek........................................................................................................ 17
H.    Malpraktek Pidana..................................................................................................... 20
Bab III..................................................................................................................................... 21
A.     Kesimpulan.................................................................................................................. 21
B.     Saran............................................................................................................................ 22
Daftar pustaka........................................................................................................................ 23

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan yang dirasakan mencemaskan oleh dunia medis indonesia adalah meningkatnya tuntutan dan gugatan malpraktek dengan jumlah rugi yang cukup banyak, apalagi semenjak berlakunya UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Apakah UU itu memicu berubahnya masyarakat kita menjadi masyarakat yang gemar menuntut atau karena sebab lain. Yang jelas situasi dunia medis (perumahsakitan) kita sekarang ini amat mirip dengan krisis malpraktek yang pernah melanda amerika serikat sekitar 40 tahun yang lalu, yaitu sejak rumah sakit tidak lagi dianggap kebal terhadap segala bentuk gugatan. Sebelumnya rumah sakit sebagai lembaga sosial kebal hukum berdasarkan doctrine of charitable immunity, sebab perimbangan menghukum rumah sakit membayar ganti tugi sama artinya dengan mengurangi asetnya, yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuan menolong masyarakat.
Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan tertulis atau kaidah-kaidah dalam suatu masyarakat sebagai susunan sosial, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan memberikan sanksi bila dilanggar. Tujuan pokok dari hukum ialah menciptakan suatu tatanan hidup dalam masyarakat yang tertib dan sejahtera didalam keseimbangan-keseimbangan. Dengan terciptanya ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.

Demikian pula bagi pasien, sebagai anggota masyarakat tentunya juga memerlukan kaidah-kaidah yang dapat menjaganya dari perbuatan tenaga kesehatan yang melanggar aturan ketertiban tenaga kesehatan itu sendiri. Oleh karena itu, setiap kesalahan yang diperbuat oleh seseorang, tentunya harus ada sanksi yang layak untuk diterima si pembuat kesalahan, agar terjadi keseimbangan dan keserasian didalam kehidupan sosial.
Pelayanan keperawatan merupakan jenis pelayanan kesehatan yang memiliki daya ungkit besar di rumah sakit. Pelayanan keperawatan terbesar di rumah sakit adalah unit pelayanan rawat inap, didasari bahwa perawat memiliki kontak yang lama yaitu 24 jam dengan pasien, dan Huber (1996) menjelaskan bahwa pelayanan di rumah sakit 90% adalah pelayanan keperawatan, sehingga dalam pengelolaan diperlukan kemampuan manajemen yang professional. Pelayanan keperawatan melalui proses keperawatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pelayanan kesehatan secara keseluruhan, dan bahkan pelayanan keperawatan merupakan salah satu faktor.
Dalam profesi keperawatan tentunya berpedoman pada etika profesi keperawatan yang dituangkan dalam kode etik keperawatan. Sebagai suatu profesi, PPNI memiliki kode etik keperawatan yang ditinjau setiap 5 tahun dalam MUNAS PPNI. Berdasarkan keputusan MUNAS VI PPNI No. 09/MUNAS VI/PPNI/2000 tentang Kode Etik Keperawatan Indonesia.
Bidang Etika keperawatan sudah menjadi tanggung jawab organisasi keprofesian untuk mengembangkan jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas dapat diperoleh oleh tenaga keperawatan yang professional.

2.    Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas penulis dalam penulisan makalah ini adalah:
a.       Apa saja faktor penyebab terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh bidan dan upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh perawat?
b.      Bagaimana upaya pencegahan malpraktek dan penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh perawat menurut hukum pidana?
3.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
a.         Untuk dapat mengetahui dan memahami bagaimana pengaturan mengenai malpraktek yang dilakukan oleh seorang perawat.
b.        Untuk dapat mengetahui dan memahami apa faktor-faktor penyebab terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh perawat, upaya-upaya pencegahannya serta kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh perawat. 
c.         Untuk dapat mengetahui dan memahami gugatan tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh perawat Melalui penulisan ini.


BAB II
PEMBAHASAN

A.          Pengertian  Malpraktek
Ada berbagai macam pendapat dari para  sarjana mengenai pengertian malpraktek. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut:
a.              Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktek berasal dari “malpractice”  yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh perawat.
b.             Hermien Hadiati menjelaskan  malpractice  secara harfiah berarti  bad practice, atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan “how to practice the medical science and technology”, yang sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah “maltreatment”.
c.              Danny Wiradharma memandang malpraktek dari sudut tanggung jawab perawat yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek buruk.
d.             Ngesti Lestari mengartikan malpraktek secara harfiah sebagai “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
e.              Amri Amir menjelaskan malpraktek medis adalah tindakan yang salah oleh dokter pada waktu menjalankan praktek, yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta menggunakan keahliannya untuk kepentingan pribadi.
f.               Sedangkan menurut Ninik Mariyanti, malpraktek sebenarnya mempunyai pengertian yang luas, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1)       Dalam arti umum : suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi  standar yang telah ditentukan oleh profesi.
2)       Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) malpraktek dapat terjadi di dalam menentukan diagnosis, menjalankan operasi, selama menjalankan perawatan, dan sesudah perawatan.
g.              Menurut Jusuf Hanafiah,  malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Ada dua istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna, melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan dan berisiko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).
Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan (Vestal, K.W, 1995). Malpraktik lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata atau pidana.
Dalam memberikan pelayanan wajib bagi pemberi jasa untuk menginformasikan kepada konsumen secara lengkap dan komprehensif semaksimal mungkin. Namun, penyalahartian malpraktek biasanya terjadi karena ketidaksamaan persepsi tentang malpraktek. Guwandi (1994) mendefinisikan malpraktik sebagai kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanah pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang tugas/pekerjaannya.
B. Upaya Pencegahan Dalam Menghadapi Tuntutan Malpraktek
1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a.      Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b.      Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c.       Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d.      Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e.       Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya. 18
f.        Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan :
a.       Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b.      Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan 19 dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.
Dari kasus tersebut perawat telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian seperti patah tulang tungkai sehingga bisa dikategorikan sebagai malpraktek yang termasuk ke dalam criminal malpractice bersifat neglegence yang dapat dijerat hokum antara lain :
1.      Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati :Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
2.      Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
3.      Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.Pasal 361 KUHP menyatakan:Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.



C. GUGATAN MALPRAKTIK MEDIK
Sebelumnya telah diuraian tentang malpraktik medik dan unsur utama dari pertanggungjawaban medik, perlu adanya penentuan tentang adanya kelalaian. Kemudian kalau pasien dapat menentukan adanya kelalaian, maka untuk dapat mengajukan gugatan jelas harus ada dasar hukumnya, yang dijadikan sebagai dasar gugatan. Hukum Perdata Indonesia, masih tetap memakai Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) sebagai hukum positif. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang gugatan, maka perlu pula digambarkan tentang hubungan hukum yang melahirkan perikatan. Terdapat dua macam perikatan menurut Pasal 1233 KUHPer, yaitu “perikatan yang lahir dari perjanjian” dan “perikatan yang lahir dari undang-undang”. Kemudian mengenai jenis perikatan yang relevan untuk digambarkan, tidak diatur oleh Undang-undang, namun dikemukakan oleh para pakar ilmu hukum Belanda, diakui sebagai doktrin hukum, tentang dua macam perikatan dilihat dari prestasi yang harus diberikan, yaitu “perikatan ikhtiar” dan “perikatan hasil”. Hubungan TK dan pasien, pada dasarnya memberikan prestasi berupa ikhtiar, yaitu upaya semaksimal mungkin, hanya beberapa perikatan yang timbul mendasarkan prestasi hasil, sebagai misal bedah kosmetik, tentunya harus mendasarkan kepada hasil yang dijanjikan, lain lagi dalam hal bedah rekonstruksi, maka hasilnya juga berupaya semaksimal mungkin. Seperti dituliskan di atas, bahwa malpraktik medik mensyaratkan adanya kelalaian/kesalahan, sehingga gugatan juga mensyaratkan adanya kelalaian/kesalahan. Tujuan dari gugatan adalah untuk mendapatkan ganti rugi, sehingga dasar gugatan dapat dilakukan dengan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Jelas untuk menggugat berdasarkan wanprestasi, pertama-tama hanya dapat dilakukan apabila ada perjanjian, kemudian hasilnya harus tertentu. Sedangkan seperti dituliskan di atas, menurut doktrin hukum perikatan, perikatan yang timbul hampir kebanyakan adalah perikatan ikhtiar, yakdi prestasinya berupa “upaya semaksimal mungkin”, bukan “hasil tertentu”.
Perbedaan antara perikatan ikhtiar dan perikatan hasil adalah pada perikatan ikhtiar prestasinya berupa ikhtiar (upaya semaksimal mungkin), sulit untuk ditentukan ukurannya, sedangkan pada periktan hasil, prestasinya berupa hasil tertentu yang dapat diukur. Akibatnya, pada perjanjian antara TK dan pasien yang jadi dasar dari perikatan ikhtiar, maka prestasinya sulit untuk diukur, kalau pretasinya sulit diukur, maka sulit untuk menggugat TK dengan dasar wanprestasi (ingkar janji), kalau TK telah cukup berikhtiar, maka telah dipenuhi prestasi yang diperjanjikan. Dengan perkataan lain, meski pun ada perjanjian atau tidak ada perjanjian antara TK dan pasien, maka dasar hukum dari gugatan terhadap TK adalah apa yang dikenal dengan perbuatan melanggar hukum (PMH) yang diatur di dalam pasal 1365 KUHPer. Pasal 1365 KUHPerdt: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salah menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Unsur-unsur dari ketentuan yang ada di dalam pasal 1365 KUHPer, adalah: ada perbuatan melanggar hukum, ada kesalahan, ada kerugian, ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian. Sedangkan yang dimaksud dengan PMH menurut pasal 1365 KUHPer adalah:
1. adanya perbuatan yang melanggar undang-undang, ketertiban dan kesusilaan
2. adanya perbuatan yang melanggar hak orang lain
3. adanya perbuatan yang tidak memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi.
Kemudian yang dimaksudkan dengan kesalahan (schuld), diartikan adanya unsur kesengajaan. Dengan sengaja merugikan orang lain. Kemudian pasal 1366 KUHPer menentukan: “Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebebkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya. ”Ketentuan pasal 1365 KUHPer menyebutkan adanya kesalahan (schuld), sedangkan pasal 1366 KUHPer menentikan adanya kelalaian (nalatigheid). Jadi, apakah perbuatan itu disengaja, atau pun karena kalalaian/kurang hati-hati, asalkan menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ganti rugi. Dengan perkataan lain:
1.        Apabila terjadi kesalahan/kelalaian, namun tidak menimbulkan kerugian, tidak dapat digugat ganti rugi
2.        Begitu pula apabila terdapat kerugian, namun tidak terdapat kesalahan/kelalaian, maka tidak dapat digugat ganti rugi
3.        Di samping itu, ada kerugian, ada kesalahan/kelalaian, naumn tidak ada hubungan sebab akibat, maka itu pun tidakn dpat digugat ganti rugi
4.        Keempat unsur dari PMH harus dipenuhi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan, untuk menggugat TK, pasien harus dapat menentukan kelalaian TK yang mana, kemudian apakah kerugian yang diderita pasien, betul disebebkan oleh kelaian TK. Dengan perkataan lain, apakah kelalaian TK menyebabkan kerugian yang diderita pasien.
D. TUNTUTAN MALPRAKTIK MEDIK
Pidana secara harfiah artinya hukuman (straf), Hukum pidana artinya Hukum tentang hukuman. Sistem Hukum Pidana membagi dua macam perbuatan yang dapat dipidana, yaitu pelanggaran dan kejahatan. Suatu perbuatan dapat dituntut dengan pidana (hukuman), apabila memenuhi unsur-unsur yang ditentukan oleh Hukum Pidana. Kemudian di dalam hukum pidana sebuah asas yang ditetapkan di dalam KUHP adalah sangat penting, yaitu asas “nullum delictum poena sina sanctie”. Artinya tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Jadi menurut asas ini, kalau tidak diatur telah melanggar ketentuan hukum, maka perbuatan itu tidak dapat dihukum, meski pun akibat perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Seharusnya dalam tindakan medik, perbuatan TK yang dapat dipidana, adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian berupa catat badan yang permanen atau kematian. Apabila kerugian itu dapat diperbaiki, dalam arti tidak menimbulkan bekas, maka TK tidak dapat dituntut pidana. Perasaan tidak menyenangkan, penderitaan, tidak sembuh dan banyak lainnya, bukan dasar untuk memidanakan TK. Namun di Indonesia hal ini menjadi kabur, karena itu dijadikan dasar pengaduan pasien. Terutama “tidak sembuh” tidak dapat dijadikan dasar tuntutan, karena prestasi TK adalah berupaya semaksimal mungkin, dan faktor kesembuhan pasien, bukan hanya karena faktor TK. Dasar tuntutan terhadap TK harus jelas, luka berat yang mengakibatkan cacat dan kematian saja yang pantas untuk dihukum, selama masih terjadi pemulihan, maka TK tidak dapat dituntut.
E. Penanganan Tindakan Malpraktek
1. Cara Hukum Kesehatan Mengatasi Tindakan Malpraktek
Sehubungan gugatan/tuntutan ada di bidang hukum, maka penulisan ini hanya hal-hal yang menyengkut tentang hukum. Seringkali, TK karena rutinitas menjalankan pekerjaan, yang menjadi pekerjaan yang diulang-ulang, menjadi kurang hati-hati. Kekurang hati-hatian ini, dapat berakibat fatal, karena kelalaian kecil saja dapat berakibat besar.
TK dapat menggunakan beberapa ketentuan dari lembaga hukum yang dapat membantu TK dalam mengurangi kemungkinan digugat/dituntut oleh pasien. Kemudian di luar dari itu terdapat beberapa hal yang perlu juga diperhatikan oleh TK.
a.       Pemerintah melalui Permenkes no. 585/1989 telah menetapkan aturan tentang persetujuan tindakan medik dan di dalam UU No. 29/2004 tentang praktik kedokteran, juga diatur beberapa ketentuan tentang persetujuan tindakan medik. TK harus menggunakan lembaga informed consent secara maksimal, pasien diberi informasi yang benar dan adekuat, kemudian pasien dalam memberikan persetujuan setelah benar-benar mengerti informasi yang diterima. Pekerjaan ini sangat membosankan, namun ini adalah salah satu cara untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Masalah yang timbul adalah kalau informasi terlalu banyak menyebabkan pasien menjadi takut, ini bukan menjadi masalah TK, untuk menghindari kemungkinan salah paham.
b.      Selain informed consent, yang perlu dipenuhi dan menjadi keharusan pula untuk mencatat dengan benar dan rinci seluruh proses tindakan medik di dalam rekam medik dan berkas pemerikasaan penunjang pasien dikumpulkan dengan baik, sehingga pada waktunya apabila ada gugatan/tuntutan dari pasien, maka berkas rekam medik dapat digunakan sebagai alat bukti yang berisi proses tindakan medik.
c.       TK harus bekerja sesuai dengan standar profesi medik, bertindak teliti dan hati-hati. Kemudian selalu menambah pengetahuan baik secara formal mau pun informal.
d.      Selain itu, perlu menghargai hak-hak pasien yang lainnya selain informasi, persetujuan, dan rekam medik, yaitu rahasia kedokteran dan mendapatkan second opinion.
e.       Hal lain yang perlu pula disiapkan oleh TK, adalah mengerti dan mengetahui tentang hukum pada umumnya, khususnya tentang hukum kesehatan. Mempelajari hukum secara formal tentunya paling baik, namun secara informal pun cukup. Buta sama sekali terhadap hukum, sangat tidak bijaksana.
Akhirnya, kalau menghadap gugatan/tuntutan hukum, jangan bertindak sendiri, perlu kebijaksaaan dalam memilih siapa yang jadi pembela. Gugatan/tuntutan tidaklah mungkin dihadapi TK tanpa bantuan pihak yang mengerti hukum.
Cara Tim Kesehatan Dalam Mengatasi Malpraktek Vestal, K.W (1995) memberikan pedoman     guna mencegah terjadinya malpraktek. Pedoman-pedoman tersebut adalah :
1.      Memberikan kasih sayang pada pasien sebagaimana kita mengasihi diri sendiri, melayani pasien dan keluarganya dengan jujur, penuh rasa hormat.
2.      Menggunakan pengetahuan keperawatan untuk menetapkan diagnosa yang tepat dan melaksanakan intervensi keperawatan yang diperlukan. Perawat mempunyai kewajiban untuk menyusun pengkajian dan melaksanakan dengan benar.
3.      Mengutamakan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu tentang tindakan yang akan di lakukan atau kurang merespon perubahan kondisi pasien, didiskusikan bersama tim kesehatan atau keperawatan, guna memberikan masukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya.
4.      Menanyakan saran atau pesan yang diberikan oleh dokter jika perintah tidak jelas, masalah itu dipertanyakan oleh pasien atau pasien menolak tindakan yang meragukan atau tidak tepat sehubungan dengan perubahan pada kondisi kesehatan pasien, menerima perintah dengan jelas dan tertulis.
5.      Meningkatkan kemampuan kita secara terus-menerus sehingga pengetahuan atau kemampuan yang dimiliki senantiasa Up-To-Date. Mengikuti perkembangan terbaru yang terjadi di lapangan dan bekerja berdasarkan pedoman yang berlaku.
6.      Tidak melakukan tindakan yang belum kita kuasai.
7.      Melaksanakan askep berdasarkan model proses keperawatan. Menghindari kekurang hati-hatian dalam memberikan askep.
8.      Mencatat rencana keperawatan dan respons pasien selama dalam askep. Menyatakan secara jelas dan lengkap. Mencatat sesegera mungkin fakta yang kita observasi secara jelas.
9.      Melakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya. Membiasakan bekerja berdasarkan kebijakan organisasi atau rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku.
F. TUNTUTAN MALPRAKTEK DAPAT BERSIFAT PELANGGARAN – PELANGGARAN BERIKUT :
a.  Pelanggaran Etika Profesi
Pelanggaran ini sepenuhnya tanggung jawab organisasi profesi (Majelis Kode etik Keperawatan) sebagaimana tercantum pada pasal 26 dan 27 anggaran dasar PPNI. Sebagaimana halnya dokter, perawatpun merupakan tenaga kesehatan profesional yang menghadapi banyak masalah moral atau etik sepanjang melaksanakan praktik profesional.
b. Sanksi Administrasi
Berdasarkan Keppres No. 56 tahun 1995 dibentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan obyektif kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima kesehatan. Tindakan sebagaimana yang dimaksud tidak mengurangi ketentuan pada Pasal 54 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan , yaitu berbunyi sebagai berikut :
1.        Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
2.        Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplai Tenaga Kesehatan.
c. Pelanggaran Hukum
Pelanggaran dapat bersifat perdata atau pidana. Pelanggaran yang bersifat perdata sebagaimana yang tertera pada UU No. 23 tahun 1992 pada Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:
1.    Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
2.    Ganti rugi sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesaui dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
G. JENIS-JENIS MALPRAKTEK
Ngesti Lestari  dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.

a.  Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan  merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.
b.  Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).
1)  Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
 Malpraktek perdata terjadi apabila  terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya  perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:
a.       Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b.      Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya.
c.       Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d.      Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti:
a.       Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).
b.      Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).
c.       Ada kerugian
d.      Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
e.       Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut:
a.        Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien.
b.       Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.
c.         Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
d.        Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tenaga kesehatan (tergugat).
 Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res  ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal demikian tenaga kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian pada dirinya. Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi  ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan  terhadap pasien.
H.      MALPRAKTEK PIDANA
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:
a.             Malpraktek pidana karena kesengajaan(intensional), misalnya pada kasus aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus  gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar.
b.             Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak  lege  artis  atau tidak sesuai dengan standar  profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c.             Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.






                                                  

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk melihat sebuah kasus, khususnya kasus-kasus mal praktek yang selalu mempertentangkan antara penegakkan hukum dengan rasa keadilan dalam masyarakat, seorang hakim harus cermat dan jeli untuk menemukan jawaban dalam putusannya. Dalam praktek beracara di Indonesia, kurang cermatnya gugatan dan niklai gugatan akan menyebabkan tidak dikabulkannya gugatan itu sendiri. Dengan tidak dikabulkannya gugatan, maka masyarakat akan mempunyai  self judgement terhadap lembaga peradilan, bahwa lembaga peradilan tidak memiliki rasa keadilan dalam masyarakat. Terlebih juga terhadap institusi kedokteran yang semakin kebal akan hukum. Bahwa pada asasnya perjanjian antara dokter dengan pasien merupakan perjanjian ”berusaha sebaik mungkin” (inspanningsverbintenis), yang tidak berarti dokter boleh berbuat sesuka hatinya dalam menjalankan profesinya dan hal itu harus berdasarkan standar profesi medik yang berlaku.
Menurut Jusuf Hanafiah,  malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana.
B.  SARAN
  1. Untuk dapat mengurangi sengketa medis antara dokter dengan pasien, dokter dalam menjalankan tugas profesinya jangan menjamin hasil pengobatan; dokter diharapkan dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan pasien yaitu perawatan yang informatif, manusiawi dan bermutu sesuai dengan standar profesi, dan dokter harus senantiasa meningkatkan keahliannya melalui kursus-kursus, seminar dan simposium serta dalam memberikan penjelasan terhadap pasien agar menggunakan bahasa yang sederhana (jangan menggunakan istilah kedokteran) agar mudah dimengerti oleh pasien yang awam terhadap profesi kedokteran.
  1. Pasien agar lebih memahami bahwa hubungan hukum antara dokter dengan pasien itu melahirkan aspek hukum inspanningsverbintenis karena obyek dari hubungan hukum itu adalah upaya maksimal yang dilakukan oleh dokter secara hati-hati dan penuh ketegangan berdasarkan pengetahuannya untuk menyembuhkan pasien. Jadi, tidak menjanjikan suatu hasil yang pasti.






DAFTAR PUSTAKA


Achadiat, Chrisdiono. M. 1996. Pernik-Pernik Hukum Kedokteran , Melindungi Pasien dan Dokter. Widya Medika , Jakarta.
Adji, Umar Seno. 1991. “Profesi Dokter Etika Profesional dan Hukum Pertangungjawaban Pidana Dokter” Erlangga Jakarta.
Ameln, Fred. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta : Grafikatama  Jaya.
Anderson & Foster. 1986. “Antropologi Kesehatan” Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Apeldoorn, LJ Van. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. PT. Pradya Paramita, Jakarta.
Arras, John & Hans, Robert. 1983. Ethical Issues In Modern Medicine. Mayfield Publising Company, USA.
Bertens, K.  2001. Dokumen Etika dan Hukum Kedokteran. Universitas Atmajaya , Jakarta.
Dahlan, Sofwan. 2000. Hukum Kesehatan. Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter. BP UNDIP, Semarang.
Dupuis, Heleen, M. Tengker , F. 1990 . Apa Yang Laik Bagi Dokter Dan Pasien. Nova, Bandung.
Gunawan. 1991. Memahami Etika Kedokteran. Kanisius, Yogyakarta.
Guwandi, J. Tanpa tahun. Dokter Dan Hukum. Monella , Jakarta.

                                                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar